Meraih Berkah Guru

Meraih Berkah Guru

Muzamil HS

Dalam khazanah pendidikan Islam, posisi guru itu sangat strategis untuk keberhasilan siswa. Sebagai prasyarat keberhasilan Pendidikan, kehadiran seorang guru sebagai pemandu perjalanan seorang siswa dalam mencari ilmu mutlak diperlukan.

Dalam proses Pendidikan yang kami jalani, Abah Hasan selalu menekankan untuk memulyakan guru. Guru adalah pengganti orang tuamu. Karena orang tua telah memasrahkan anak-anaknya kepada seorang guru untuk dibimbing.

Kalau Allah memerintahkan untuk memulyakan orang tuamu, maka katika kamu Bersama dengan guru, maka dialah wakil orang tuamu dan kamu wajib menghormatinya. Selain mewakili orang tua dalam mendidik, dia juga sebagai ulama yang memang harus dimulyakan. Jadi, seorang guru berhak dimulyakan karena dua hal; karena mewakili orang tua yang bertanggung jawab dalam Pendidikan anaknya dan yang kedua karena dia adalah ulama yang menjadi pewaris para Nabi.

Itulah yang ditanamkan Abah Hasan kepada anak-anaknya. Sebagai bentuk penghormatan beliau kepada para guru-guru, beliau selalu sowan kepada para guru Ketika mengunjungi anaknya di pesantren. Sikap memulyakan kepada guru itu ditanamkan kepada kami karena memang itulah sikap yang seharusnya dimiliki oleh orang tua. Dia akan dikategorikan sebagai orang tua yang tidak beradab jika tidak memulyakan guru sang anak.

Dengan alasan apa, orang tua modern kemudian tidak mau memulyakan guru anak-anaknya. Dia mencurahkan waktu, tenaga dan ilmunya untuk mendampingi anak-anak kita dalam proses pendidikannya. Jangankan kepada guru yang telah ikhlas mendampingi anak-anak kita, kepada orang biasa saja yang tidak punya sumbangsih apapun, kita diperintahkan untuk berbuat baik. Bahkan berbuat baik kepada seluruh manusia itu ajaran Islam, apalagi kepada seorang guru.

Jika kita perhatikan berita-berita Pendidikan hari-hari ini, sebagai orang tua dan sebagai pendidik, hati ini miris rasanya; ada murid yang memukul gurunya. Seorang murid menantang gurunya untuk berkelahi. Bahkan orang tua murid menyeret si guru ke meja hijau karena menjewer anaknya yang sudah kelewat batas dan si murid sudah tidak mempan lagi dinasehati dengan kata-kata.

Kalua ketidak sopanan kepada guru tersebut terus dipertontokan, lalu masihkan kita bisa berharap ilmu yang didapat oleh anak-anak kita bisa menjadi ilmu yang barokah bermanfaat? Ini menjadi bahan perenungan kita semua.

Mungkin, ada yang bilang kasus tersebut tidak bisa hanya dilimpahkan kepada orang tua siswa. Sikap Guru juga harus dikoreksi dalam mendidik. Sebagian orang tua siswa juga melihat bahwa tugas guru itu adalah menyampaikan pelajaran dengan baik, bukan melakukan kekerasan kepada siswa. Guru wajib mendidik anak-anaknya dengan lembut walaupun anaknya itu nakal, karena orang tua siswa sudah membayar mahal Pendidikan anaknya tersebut. Sehingga sebagai konsumen Pendidikan, dia berhak untuk memprotes sang guru jika berlaku keras kepada anaknya.

Lalu bagaimana cara menyelesaikan masalah tersebut? Nasehat Mbah Nun mungkin bisa digunakan. Beliau menyarankan bahwa dalam melihat masalah itu bukan mencari siapa yang salah. Tapi apa yang salah. Karena setiap orang atau pihak pasti tidak mau disalah-salahkan. Yang perlu dikedepankan adalah mencari apa yang perlu diperbaiki. Apa yang harus guru perbaiki dan apa yang harus diperbaiki oleh wali siswa.

Kalau memang kita ingin mencari solusi dari masalah tersebut, maka Gurulah yang harus berani mengoreksi cara pandang dan sikapnya terhadap murid yang kemudian memicu protes dari wali murid. Guru harus berani mengoreksi cara pandangnya tentang Pendidikan. Selama ini, guru seringkali menempatkan mengajar sebagai lahan mencari nafkah. Padalah mengajar itu lahan pengabdian.

Mengembalikan posisi Pendidikan sebagai lahan pengabdian itu sangat urgen untuk memperbaiki citra guru. Karena dengan cara pandang tersebut, dia akan menikmati pekerjaan mengajarnya itu dan getaran yang dipancarkan dari keikhlasannya tersebut akan ditangkap oleh siswa dan wali siswa sehingga akan hadir rasa menghormati guru.

Betapa indah panduan yang diberikan oleh Kiai Hasyim As’ary tentang adab seorang guru. Beliau membagi etika guru menjadi dua. Etika kepada dirinya sendiri dan etika kepada muridnya. Etika Guru terhadap diri sendiri meliputi: senantiasa mendekat kepada Allah SWT, Selalu mearasa takut kepada Allah SWT, Bersikap sakinah (penuh kasih sayang), Bersikap wara’, bersikap tawadlu’, bersikap khusyu’, menyandarkan semua urusannya kepada Allah, menjadikan ilmunya sebagai sarana mendapat ridlo Allah, bersikap zuhud.

Adapun sikap guru terhadap siswanya dalam pandangan K.H. Hasyim Asy’ari dilakukan dengan cara: menyampaikan ilmu dengan niat semata-mata mencari ridlo Allah, selalu memberikan motivasi tentang ketulusan niat dalam belajar, mencintai anak didiknya sebagaimna mencintai anak kandungnya, menyampaikan pelajaran sesuai kemampuan anak didiknya, bersungguh-sungguh dalam menyampaikan ilmunya, mengevaluasi hasil belajar anak didik, memberikan nasehat baik terhadap anak didik terhadap semua kesulitan yang dialami, tidak pilih kasih terhadap anak didik, memperhatikan kehadiran anak didik, menjaga keharmonisan dalam hubungan dengan anak didik, memperhatikan alasan ketidak hadiran anak didiknya, bersikap tawadlu’ terhadap anak didik, memberi apresiasi terhadap kelebihan atau keutamaan yang dimiliki anak didiknya.

Jika kita adalah orang tua siswa, maka kita juga perlu introspeksi diri bagaimana seharusnya kita bersikap kepada guru. Bukankah kita telah memasrahkan anak-anak kepada gurunya. Kalau sudah dipasrahkan janganlah kita ikut campur tindakan guru kepada anak kita.

Dalam sebuah riwayat dalam kitab taklim al mutaallim, dikisahkan tentang sikap Raja Harun Al rasyid yang terkenal dengan kebijaksanaannya. Suatu Ketika dia melihat anaknya, yang belajar di lembaganya Kiai Asmu’I, menuangkan air wudhu di kaki kiai Asmu’i. Melihat hal tersebut, sang raja memberi usul kepada kiai Asmu’I agar anaknya tidak hanya menuangkan tapi juga membasuh kakinya.

Dalam kitab Ta’lim, dengan sangat tegas, Syeh Az Zarnuji mengaitkan keberkahan dan kemanfaatan ilmu siswa dengan cara siswa dan orang tuanya dalam menghormati gurunya. Bahkan Seorang sahabat yang mulya, sayyidina Ali, mengatakan, “aku adalah hamba bagi orang yang telah mengajariku walau satu huruf, saya siap bahkan dijadikan budaknya”. Demikian ungkapan penghormatan Sayyidina Ali tentang menghormati seorang guru.

Jika, kita berstatus sebagai pengelola Lembaga maka, kita harus merendahkan hati untuk mengintrospeksi tentang konsep Lembaga Pendidikan yang kita Kelola. Jangan-jangan sumber masalahnya ada di Lembaga. Jangan-jangan kita mendirikan Lembaga Pendidikan itu sebagai komoditi yang ujung-ujungnya menumpuk kekayaan yang entah akan dipakai untuk apa.

Kalua kita berada di posisi pengambil kebijakan di pemerintahan, jangan-jangan pemerintah tidak memperdulikan amanat konstitusi negara kita tentang Pendidikan. Yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab. Jangan-jangan kebijakan kita tidak mencerminkan ketuhanan yang maha esa. Sehingga pihak-pihak yang terlibat dalam Pendidikan juga tertarik oleh energi kebijakan yang tidak berketuhanan yang maha esa. Apakah keaktifan siswa dalam menjalani sholat berjamaah menjadi syarat kelulusannya. Apakah kurikulum yang dicanangkan oleh pemerintah itu memasukkan anak yang berbakti kepada orang tua sebagai anak yang berprestasi dalam sekolah.

Banyak sekali pertanyaan yang perlu direnungkan oleh semua pihak untuk menjawab masalah ketidak beradaban anak dan orang tua kepada gurunya. Jangan-jangan guru-gurunya juga tidak menjaga sholatnya jika ia muslim. Jangan-jangan gurunya hanya berorientasi uang dalam mengajar. Kalau niat itu yang ditanamkan dalam jiwa, maka pantas saja, akalau orang tua tidak berlaku sopan kepada guru. Karena orang tua menganggap bahwa dia sudah membayar mahal. Sehingga dia berhak untuk memprotes si guru jika tritmen yang diambil tidak sesuai dengan keinginannya.

Kita perlu mengoreksi masalah Pendidikan ini mulai dari motivasi sampai penilaian secara seksama. Apakah niat kita mengajar sudah benar. Apakah tujuan Pendidikan yang dicanangkan tidak keluar dari kemanusiaan yang adil dan beradab. Apakah suasana di lingkungan sekolah itu sudah mengarah kepada ketuhanan yang maha esa. Apakah kita sudah melibatkan Allah dalam mendampingi anak-anak menju generasi yang adil dan beradab. Apakah kita sebagai guru pernah bangun di tengah malam dan berdoa untuk kebaikan murid-murid kita atau jangan-jangan kita memang bertemu dengan murid secara fisik tapi tidak pernah jumpa secara ruhani. Nasehat Gus Miek kepada para pendidik sangat relevan untuk kondisi Pendidikan saat ini; “sudah bukan zamannya lagi mendidik dengan cara dhohir, tapi bacakan Surat alfatihah setiap kali setelah sholat untuk anak-anak didik kita agar Allah berkenan membimbing mereka menjadi pribadi yang baik dunia-ahirat”.

Wallahu a’lam bi al-sowab

 

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top